Blog ini menampilkan Koleksi Barang Koeno

Mulai saat ini untuk mendapatkan barang kuno lainnya silakan kunjungi juga WARUNG KUNO

Sementara bagi para kolektor dan pecinta sepeda onthel dapat mengakses WARUNG ONTHEL

Semua blog diatas masih berada dalam layanan satu atap dengan Griya Kuno.

Terima kasih atas kunjungan anda.

Minggu, 01 November 2009

Wadah Kinang

(Kode: GK 85)
SUDAH TERJUAL
 
KEBIASAAN menginang atau makan sirih sudah dikenal pada masyarakat Indonesia sejak lama. Menurut Soekanto Tirtomijoyo, masyarakat Indonesia mengenal kebiasaan menginang sejak abad 6 Masehi. Pada masyarakat Kalimantan Timur kebiasaan ini dikenal kemudian pada abad 9 hingga 10 Masehi. Kebiasaan ini berkembang cukup pesat pada masyarakat Kalimantan Timur sehingga berdampak luas dalam kehidupan sosial, budaya, religi, dan ekonomi mereka. Selain itu, tempat penginangannya pun mendapat perhatian khusus dari masyarakat, tidak saja dibuat dari logam, akan tetapi juga dari anyaman rotan, kayu manik, dan kayu dilapisi emas menjadi ciri khas tersendiri dari daerah ini. (Wadah kinang dari tembaga dapat diakses di http://www.warungkuno.blogspot.com/)
Kebiasaan MenginangPada masyarakat Kalimantan Timur, menginang atau makan sirih biasanya ditempatkan dalam suatu tempat yang khusus. Tempat ini biasanya disebut dengan istilah penginangan. Perlengkapan menginang seperti tempat sirih, tempat tembakau, alat penumbuk kinang, alat pemotong pinang, dan tempat ludah merah atau ludah sirih serta kinangnya ditempatkan dalam satu wadah.
Apabila orang hendak menginang biasanya disediakan kinang yang terdiri atas ramuan pokok dan ramuan pelengkap. Ramuan pokok terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih, dan buah pinang, sedangkan ramuan pelengkap terdiri dari tembakau, kapulaga, cengkih, kunyit, dan daun jeruk. Ramuan pelengkap ini biasanya tidak sama jenisnya, antara satu orang dengan orang yang lain, ada pula yang menggunakan kinang secara lengkap, tetapi ada juga yang menggunakan sebagian saja, bahkan tidak menggunakan pelengkap sama sekali.
Ramuan yang akan digunakan untuk menginang biasanya dilumatkan dengan dikunyah, tetapi jika gigi tidak ada lagi biasanya ditumbuk. Kinang ini dinikmati dengan mengunyah dan memutar-mutarnya di dalam mulut selama beberapa waktu atau langsung digosok dengan tembakau.
Tembakau yang digunakan untuk membersihkan mulut tidak langsung dibuang, tetapi diputar-putar di dalam mulut dan setelah aromanya hilang baru dibuang, sedangkan tembakau biasanya oleh orang yang menginang diselipkan di sebelah pipi atau antara gigi dan bibir. Kebiasaan makan sirih ini bagi para pecandu memerlukan bahan, waktu, dan perhatian yang besar.
Fungsi MenginangFungsi primer menginang sama halnya dengan kebiasaan minum teh, kopi, dan merokok. Pada mulanya setiap orang yang menginang tidak lain untuk penyedap mulut. Kebiasaan ini kemudian berlanjut menjadi kesenangan dan terasa nikmat sehingga sulit untuk dilepaskan.
Kebiasaan menginang di samping untuk kenikmatan juga berfungsi sebagai obat untuk merawat gigi, terutama untuk memakan agar gigi tidak rusak atau berlubang. Fungsi menginang yang lain yaitu, menyangkut tata pergaulan dan tata nilai kemasyarakatan. Hal ini tercermin dari kebiasaan menginang, hidangan penghormatan untuk tamu, sarana penghantar bicara, sebagai mahar perkawinan, alat pengikat dalam pertunangan sebelum nikah, untuk menguji ilmu seseorang, dan sebagai pengobatan tradisional. Bahkan menginang juga digunakan sebagai upacara dan sesaji yang menyangkut adat istiadat serta kepercayaan dan religi.
Pada masyarakat Kalimantan Timur, khususnya suku bangsa Kutai dan Dayak adat istiadat menghidangkan sirih sebagai penghormatan kepada tamu. Tamu yang datang biasanya dijamu dengan sirih terlebih dahulu baru dijamu makan. Peranan sirih dalam masyarakat Kalimantan Timur dapat berfungsi sosial sehingga dapat menghilangkan jejak sosial antara satu dengan lainnya. Kebiasaan menghidangkan sirih dalam kehidupan sosial misanya seperti:
1. Hidangan Penghormatan
Pada masyarakat suku bangsa Dayak menginang tidak hanya menyangkut masalah kebiasaan saja, akan tetapi juga menyangkut tata pergaulan dan tata nilai kemasyarakatan, yakni sebagai lambang atau simbol dari solidaritas dan integrasi sosial bagi warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini tergambar dalam kebiasaan-kebiasaan menginang bersama, hidangan penghormatan untuk tamu, hidanganatau sarana pengantar bicara dan lain-lain. Kebiasaan ini terjadi dalam masyarakat terdahulu hingga sampai saat ini pada masyarakat pedalaman tidak meninggalkan budaya ini dalam kehidupan mereka.
2. Upacara Menyambut Tamu
Pada kerajaan Kutai dikenal upacara adat pangkon, yaitu upacara menyambut tamu kerajaan. Dalam upacara ini ada dua kelompok, yaitu pangkon wanita dan pangkon pria. Pengertian pangkon yaitu dipangku untuk menyambut tamu tersebut ada benda kerajaan yang dipangku sambil duduk bersila. Ada dua kelompok yang duduk memangku benda kerajaan ini yang duduk berhadapan berbaju hitam dan tamu yang datang harus berjalan di tengah. Alat yang dipangku itu antara lain adalah wadah kinang atau penginangan yang terbuat dari perak dan kuningan, ditambah alat lain seperti sumbul, lante, kipas, dan bokor. Pada dewasa ini upacara pangkon atau penyambutan tamu masih berlaku dalam kehidupan masyarakat Kutai, juga dalam upacara perkawinan pangkon ini berfungsi dalam upacara penobatan.
3. Upacara Pertunangan
Sebelum perkawinan ada upacara yang dikenal dengan pertukaran cincin. Bahkan sampai saat ini masyarakat suku bangsa Berau dan Bulungan dalam upacara pertukaran ini masih menggunakan tempat sirih dari pihak wanita menyerahkan kepada pihak pria dan sebaliknya.
Pada saat upacara perkawinannya, sebelum upacara perkawinan dilaksanakan peminangan oleh sekelompok utusan dari pihak pria yang datang ke rumah pihak wanita untuk menyatakan peminangan. Pada saat datang ke rumah pihak wanita inilah, satu di antara sarana yang digunakan untuk meminang adalah tempat sirih yang digunakan sebagai mas kawin. Jelaslah bahwa budaya menginang pada masyarakat Kalimantan Timur mempunyai fungsi sosial dan budaya, baik untuk menyambut tamu, adat perkawinan, maupun untuk upacara daur hidup lainnya. (Amurwani DL)(Asdep Urusan Pemahaman Makna Sejarah dan Integrasi Bangsa/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)

sumber diambil dari harian umum PELITA.

Tidak ada komentar: